Banda Aceh - Ann
Secara objektif harus diakui bahwa setelah belasan tahun, bahkan hampir 20 tahun negara membentuk institusi dan memberikan anggaran yang cukup besar kepada BPKS, tapi eksistensinya bagi kemanfaatan kesejahteraan rakyat Aceh masih belum tampak. Wajar jika banyak rakyat Aceh yang kecewa. Tapi menurut saya kekesalan ini tidak fair jika hanya ditimpakan pada BPKS saja, dan terlebih lagi hanya pada BPKS kali ini. DKS dan juga dewan pengawas sebagai lembaga atasannya juga harus bertanggungjawab atas lambannya tercapai kemanfaatan BPKS dalam menumbuhkembangkan perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh, baik yang di Sabang maupun di Kawasan Aceh Daratan.
Memang banyak sinyalemen yang mengemuka bahwa Manajemen BPKS sekarang agak kurang kordinasi, baik dengan Dewan Pengawas dan juga Dewan Kawasan Sabang (DKS) sebagai lembaga penanggung jawab BPKS yang ex-officio adalah Gubernur Aceh, Walikota Sabang, dan Bupati Aceh Besar. Masalah ini, hemat saya, perlu dibina secara bijak dengan bahasa yang tepat oleh DKS dan Dewan Pengawas. Tidak perlu arogan dan kasar, yang justru melukai perasaan.
Saya pikir, penting untuk menjelaskan ke publik Aceh secara terbuka tentang apa sesungguhnya masalah yang melilit dan memparasiti BPKS, serta bagaimana alternatif solusi jangka pendek dan menengah untuk mengatasi berbagai masalah guna membentuk BPKS yang maju dan mensejahterakan rakyat Aceh.
Dalam perspektif hukum, badan pengusahaan adalah institusi publik yang berorientasi pada profit oriented. Artinya, jika dihitung dari alokasi APBN sejak Instruksi Presiden tahun 2000 yang anggarannya dimulai pada tahun 2001 yang jumlahnya mencapai angka trilyunan, sudah berapa banyak kontribusi profit dari kehadiran BPKS.
Lembaga ini idealnya, dapat menjadi penopang bagi penerimaan Pendapatan Asli Aceh. Saya belum bisa memprediksi kapan terminologi "pengusahaan" akan benar-benar eksis dalam tataran empirik.