Banda Aceh - ANN
Parlementarian
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Kebiri untik Predator Seksual.
PP Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak ditandatangani Jokowi pada tanggal 7 Desember 2020.
Menanggapi PP Nomor 70 tahun 2020 ini, Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk H. Irawan Abdullah, S.Ag menyatakan penolakan terhadap penerapan PP tersebut.
“Penolakan ini bukan tanpa alasan, karena wacana untuk melakukan kebiri bagi predator seksual ini sudah lama diwacanakan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku pelecehan seksual, namun hal itu tidak berpengaruh ungkap Tgk Irawan kepada media ini, Kamis 7 Januari 2020 di Banda Aceh
Menurut Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seharusnya wacana kebiri ini layak lagi untuk diberlakukan ditengah masyarakat dan juga pakar hukum.
“Jika pemerintah mengeluarkan PP Nomor 70 tahun 2020, saat ini sudah terlambat dan tidak tepat untuk masyarakat. Itu sebabnya. Hukum kebiri ini telah lama diwacanakan. Di Aceh saja, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 2 tahun 2018 supaya tidak dilakukan hukum tersebut karena haram,” kata Ketua Komisi VI DPR Aceh ini.
Selain itu, kata Tgk Irawan, di Aceh sudah menerapkan Qanun Jinayah. Karena hukum kebiri hanya untuk menghilangkan fungsi alat vital saja, bukan menghilangkan nafsu dari pelaku.
Kalau dilakukan kebiri, maka alat vitalnya saja yang tidak berfungsi, sementara nafsunya kan masih kuat, maka dia bisa melakukan dengan cara yang lain seperti dengan tangan, jadi efeknya tidak berpengaruh.
“Kalau di Aceh melihat fatwa ulama itu, maka tidak tepat dan haram dilakukan hukum kebiri di Aceh,” kata Tgk Irawan.
Selain itu, Tgk Irawan juga menjelaskan, di beberapa negara menurut yang ia baca, prihal yang sama dengan PP kebiri ini, angka terhadap kasus pelecehan seksual tidak terjadi penurunan. Hal itu dikarenakan, hukum kebiri tidak memberikan efek jera yang optimal terhadap pelaku.
Jadi menurutnya, hukuman yang harus diterapkan kepada pelaku pelecehan seksual ini bisa dicontohkan, seperti orang yang melakukan zina apabila dia sudah menikah, maka hukuman yang diterima olehnya adalah “dirajam sampai mati di depan umum dan tidak boleh tertutup untuk umum”. Tujuannya adalah, supaya orang yang melihat hukuman ini turut merasakan efeknya bila melakukan hal yang serup
Lebih lanjut, Tgk Irawan menambahkan, jika kita melihat dalam konteks fiqih, orang yang melakukan zina tapi belum menikah alias jomblo, maka hukuman yang dia terima adalah cambuk sebanyak 100 (seratus) kali dan selanjutnya diasingkan ketempat lain (dibuang dari tempat tinggalnya). Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera, kemudian jangan sampai pelaku ini berkeliaran lagi ditengah masyarakat walaupun telah menerima hukuman cambuk.
“Kita lihat saja nanti dalam konteks Qanun Jinayat yang telah disahkan nanti. Hakim diberikan kebebasan untuk menentukan mana hukuman yang paling berat kepada pelaku pelecehan seksual ini. Jadi, hukuman kebiri ini tidak bisa diterapkan di Aceh sesuai dengan fatwa MPU maka haram hukumnya dilakukan,” demikian tutup Ketua Komisi VI DPR Aceh ini []