Datuk Juanda menjelaskan bahwa Simposium ini merupakan tindak lanjut silaturrahim Raja-Raja se-Nusantara dengan Presiden Republik Indonesia di Istana Bogor pada Tanggal 4 Januari 2018 yang membahas kedudukan tanah adat/ulayat. Pertemuan itu menghasilkan empat poin kesepakatan, yakni pendataan tanah adat/ulayat yang dikuasai oleh negara, sertifikasi tanah adat/ulayat, optmalisasi tanah adat/ulayat dan revitalisasi kraton, istana, dan situs-situs sejarah kerajaan/kesultanan yang ada di Nusantara.
Simposium Nasional yang dihadiri Pemangku Adat se-Indonesia ini diharapkan mampu mencari solusi pengelolaan kedudukan tanah swapraja, tanah adat/ulayat, tanah luat marga/suku sesuai dengan PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yang menyebutkan Tanah Ulayat adalah Tanah yang berada di wilayah penguasaan masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada dan tidak dilekati dengan sesuatu Hak Atas Tanah, dimana Hak Pengelolaan dapat berasal dari Tanah Negara dan Tanah Ulayat yang diamanatkan pada pasal 5 bahwa “Hak Pengelolaan yang berasal dari Tanah Ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat.”
Lebih Lanjut PP ini mengatur batas waktu pendaftaran tanah adat/ulayat sesuai Pasal 96 ayat (1) Alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat yang dimiliki oleh perorangan wajib didaftarkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir maka alat bukti tertulis Tanah bekas milik adat dinyatakan tidak berlaku dan tidak dapat digunakan sebagai alat pembuktian Hak Atas Tanah dan hanya sebagai petunjuk dalam rangka Pendaftaran Tanah.
Simposium ini juga menghadirkan para pakar Hukum Adat antara lain YM Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, S.IP (Kepala Staf Kepresiden RI) yang diwakili oleh Dr. Mukhtar Ngabalin), YM Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H.,M.H. (Ketua Dewan Pendiri LKPASI/Kerajaan Singosari), YM Prof. Dr. Ir. GPH. Suyoko M. Hadikusumo, MBA, Ph. D. (Kesultanan Yogyakarta), YM Prof. Dr. Andi Suriyaman Mustari Pidie, S.H.,M.H. (Guru Besar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin), Laksamana TNI (Purn) Tedjo Edhi Purdijatno, S.H. (Mantan Menkopolkam/Ketua DPP Forum Silaturrahmi Boemipoetera Nusatanara), Dr. M.D. La Ode, S.IP., M.Si (Ahli Politik Etnisitas/Dosen Damai dan Resolusi Konflik Unhan/ Direktur Eksekutif Center Institute of Strategic Studies dengan moderatorInstitute of Strategic Studies dengan moderator Dr. Ruliah, S.H.,M.H. (Pakar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo).
Wakil Ketua I Majelis Adat Aceh Tgk. Yusdedi beserta Kepala Sekretariat hadir pada acara Simposium berdasarkan undangan resmi dari Panitia Pelaksana Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia.
Catatan penting dari simposium tersebut adalah Tanah Komunal aksioma sumber wilayah Negara karena menurut AdatRecht mendahului adanya Negara/NKRI. Jadi Tanah Komunal menjadi indikator Indonesia masa lampau. Benar menurut Politik Negara melalui amanat UUD 1945 bahwa “Tanah Komunal dalam kuasa Negara, namun bukan milik Negara”. Oleh karena itu, patut diduga 15,08 Juta Ha kebun Kelapa Sawit dan jenis tanaman lainnya bersumber dari Tanah Komunal melalui vaktor kuasa pejabat publik. Dan Tanah Komunal wajib ada perlindungan hukum positif. Sebab selama ini penegak hukum “menisbihkan” legitimasi Tanah Komunal dengan instrumen hukum positif. Padahal hukum positif didasari AdatRecht.
Laporan : Iskandar Muda Hasibuan (Staf Pengelola Persidangan di Sekretariat MAA)