BANDA ACEH - Direktur Flower Aceh, Riswati, mengatakan perempuan pembela HAM yang menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan kerja-kerja pemajuan dan pemenuhan hak perempuan di komunitas.
“Perempuan pembela HAM menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan tugasnya, seperti potensi kriminalisasi, ancaman kekerasan, intimidasi, stigma, tidak ada jaminan keamanan dan kesejahteraan, kekerasan berbasis digital, dan lainnya” kata Riswati, Kamis (28/9/2023).
Meskipun keberadaan mereka diakui secara sah dalam pasal 28 C ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD 45), namun tidak ada kebijakan turunan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap mereka dalam menjalankan peran strategisnya.
Oleh karena itu Flower Aceh menggelar kegiatan penyusunan panduan mekanisme lokal perlindungan dan jaminan sosial perempuan pembela HAM di Aceh. Kegiatan ini sudah berlangsung pada 21-23 September 2023 di Sei Hotel, Banda Aceh.
“Panduan yang disusun dalam kegiatan ini bersifat lokal dan dapat menjadi acuan bagi pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait untuk memastikan jaminan keamanan dan jaminan sosial bagi perempuan pembela HAM di Aceh,” kata Riswati.
Kegiatan ini didukung oleh Nurani Perdamaian Indonesia dan Kedutaan Besar Belanda. Turut menjadi fasilitator oleh Khairani Arifin Ketua PUSHAM USK. Selama tiga hari, peserta mendapatkan materi dari narasumber yaitu Suraiya Kamaruzzaman (Presidium Balai Syura) membahas tentang kebijakan perlindungan perempuan pembela HAM di komunitas.
Asnani Rangkuti (Sosial Policy Officer UNICEF) yabg membahas terkait akses perlindungan sosial untuk kelompok rentan.
Ferri Malik Kusuma (Penggiat HAM/Ketua IKABH) terkait praktik baik perlindungan pembela HAM di Indonesia. Desy Setiawaty (Anggota Flower Aceh) membahas terkait safe guarding dan petunjuk teknis perlindungan perempuan pembela HAM berbasis digital.
Selain itu, peserta juga mendapatkan pelatihan teknik dasar pemulihan psikologis perempuan pembela HAM bersama Direktur Yayasan Pulih Aceh, Dian Marina, peserta juga dilatih teknik dasar membela diri bersama atlet cabang olahraga bela diri Sambo.
Fitri, seorang paralegal komunitas, mengatakan pentingnya pelaksanaan kegiatan ini sebagai ruang belajar bersama dan support group bagi perempuan pembela HAM di komunitas. Menurutnya, pertemuan ini adalah ruang aman untuk berbicara tentang tantangan, kegelisahan, dan praktik baik yang dihadapi di komunitas.
“Hal-hal positif yang dibagikan dalam pertemuan ini dapat menjadi modal untuk menghadapi tantangan tersebut,”jelasnya.
Annisah, seorang paralegal komunitas di Pidie, juga merasakan manfaat yang sama dari kegiatan ini. Baginya, teknik membangun resiliensi dalam menghadapi dampak tantangan sebagai pekerja pembela HAM, serta teknik dasar bela diri sebagai perlindungan pertama saat menghadapi ancaman kekerasan fisik, sangat membantu dalam komunitas mereka.
Kegiatan ini melibatkan 40 peserta dari 10 wilayah kerja Flower Aceh. Peserta terdiri dari perempuan pembela HAM yang merupakan community organizer dan paralegal komunitas di tingkat desa, pimpinan LSM dan perwakilan jurnalis yang bekerja untuk pemajuan dan pemenuhan hak asasi perempuan di Aceh, serta lembaga eks kombatan perempuan.
Ket foto : Flower Aceh menggelar kegiatan penyusunan panduan mekanisme lokal perlindungan dan jaminan sosial perempuan pembela HAM di Aceh.